Memories from Bumi Cenderawasih Expedition, West Papua 2018

Strong Coordination

Jika saya dapat memutar kembali waktu, saya seharusnya berkegiatan di Mapala dengan sepenuh hati… salah satu penyesalan saya adalah menjalankan beberapa proyek di Mapala UI setengah-setengah. Namun, tidak dengan yang satu ini. Saya senang melakukannya dengan sepenuh hati.
Ada satu pengalaman yang rasanya akan kuingat sepanjang hayatku. Pengalaman itu menempa skill leadership-ku dan telah berkontribusi terhadap diri saya sekarang ini. Membantu menyadari potensi yang ada pada diri saya yang tak saya ketahui sebelumnya. Bukan yang pertama kalinya saya mengurus acara, juga bukan sekadar project management, tetapi yang satu ini menghasilkan kepuasan yang luar biasa. Puas dan bangga karena merealisasikan visi menjadi kenyataan, dan dapat bermanfaat bagi orang banyak. Pengalaman tersebut tak lain adalah pencapaian terbesarku selama menjadi anggota organisasi pencinta alam selama masa perkuliahanku, Ekspedisi Bumi Cenderawasih.

Sounding perizinan kegiatan kepada Kepala Kampung & Adat, mengingat mereka berkuasa di Pegunungan Arfak.

Ekspedisi ini takkan terlaksana jika tanpa ketua organisasi kami saat itu, yang kini jadi temanku, seorang yang strategis (INTJ), John. Saya tidak akan mengatakannya secara langsung. Melainkan hanya menulis kesan dan apresiasi untuknya di sini karena ia tahu betul kualitasnya itu, dan akan sombong seperti biasanya. Meskipun selalu mengagumi dirinya sendiri, he’s really a good leader karena turun tangan, menyadari seluruh tugas bawahannya adalah tanggung jawabnya juga. Bukan pemimpin bossy yang tugasnya selesai setelah mendelegasikannya kemudian lantas tidak mau tahu. Ia ikut bertempur di lumpur, melakukan apapun yang dapat dibantu. Contohnya seperti mengejar-ngejar pejabat yang diajak kerja sama dan mencari sponsor dari Jakarta.

Pegunungan Arfak hanya bisa dilalui dengan kendaraan 4WD karena banyak jalan belum beraspal dan membelah sungai.

Setelah 3 bulan pertama pengajuan sponsorship di Ibukota tidak membuahkan hasil, bulan ke-4 setelah mendapatkan lampu hijau pesawat Hercules TNI, saya yang penanggung jawab Non-Teknis berangkat advance bersama penanggung jawab survey ke Manokwari. Karena belum adanya pemasukan dana, rencana awal kami berdua yang meliputi menjalin kerja sama dengan stakeholders di Papua Barat dan survey lokasi ekspedisi seluruh biro peminatan olahraga alam bebas, berubah total. Fokus tim advance yang hanya berdua ini berusaha mendapatkan bantuan dari pemangku kepentingan di provinsi tujuan. Kami mengumpulkan sedikit demi sedikit sumber daya bantuan dari berbagai institusi: Kendaraan dari Polda, Kodam-Kodim, Dinkes, dan Dinpar; alat komunikasi dari cabang RAPI; bantuan akomodasi dan dana dari para pejabat daerah, para bupati dan gubernur, yang lokasinya dijadikan tempat ekspedisi.

Woman leadership.

Pencapaian ini tentu saja memakan usaha yang tak juga sedikit. Saat itu rasanya kami berdua sudah seperti PNS, setiap hari bolak-balik kantor di Manokwari. Mulut sudah berbusa seperti sales yang menyampaikan visi betapa wisata minat khusus petualangan akan berkontribusi besar bagi pendapatan daerah Papua Barat. Semua orang tampaknya sudah sama-sama tahu provinsinya memiliki kekayaan alam yang tiada bandingnya di Indonesia. Namun, tak ada yang berani berinovasi dan take action, kecuali dua anak muda penuh gairah dari Jakarta yang tiba-tiba ada di sini. Saya kira sampai saat itu hanya satu-dua orang Papua asli yang demikian. Meskipun pada akhirnya semua pihak surprised dan senang dengan hasil ekspedisi ini, pada awalnya semua orang hanya terpaksa berbuat baik dan enggan, skeptis, marah, bahkan saya mencicipi rasanya diusir.

Seremoni pelepasan ekspedisi di kantor gubernur Papua Barat.

Memang, rasanya terlalu progresif bila pemerintah melatih orang-orang Papua ‘olahraga ekstrem’* yang tidak umum dilakukan semua kalangan ini (kecuali Pemerintah Wonosobo). Mengingat untuk pangan papan, listrik, pendidikan, dan kesehatan saja mereka masih terbelakang. Bahkan, di beberapa daerah dengan ketua suku masih kuat berkuasa, terdapat hukum adat yang tidak masuk akal yang tidak menguntungkan bagi bisnis. Bila ingin menjadikan roda ekonomi wisata itu berjalan, tentunya banyak sekali pihak yang terlibat. Pelatihan dan edukasi masyarakat mengenai olahraga alam bebas tersebut dan pariwisata juga dibutuhkan. Semua bisa dilakukan jika dimulai dari pengusahanya sendiri. Begitu pandanganku, tetapi tentu saja ketika pelatih-pelatih kami, ahli-ahli pegiat sekaligus pengusaha alam bebas bertatap muka dengan pemerintah daerah, mereka menyambut baik tindak lanjut jangka panjang rencana ini. “Orang Papua juga manusia, semua dapat diajari dan dilatih…” begitu kira-kira tuturnya.

*Di luar negeri, olahraga seperti paralayang, arung jeram, dan telusur gua ini tidak termasuk ekstrem. Dengan persiapan dan perlengkapan yang teliti, olahraga ini aman dan menyenangkan.

Basecamp, Lifetime Memories With The Team

Selama mengurus ekspedisi ini, saya cuti kuliah 1 semester. Mengurus ekspedisi ini dari awal hingga akhir, meskipun saya tidak ikut mengurus pemutaran film ekspedisi di Jakarta. Tentunya selama hampir 3 bulan di Papua Barat, ada banyak sekali hal membekas di ingatan masa mudaku…

Di tengah ketidakpastian itu, api kecil dalam hati tetap menyala, begitulah kira-kira perasaan yang menyelimuti setiap harinya. Setelah sebulan, bantuan sumber daya manusia, rombongan kloter pertama atlet-atlet ekspedisi dari Jakarta beserta tim support datang. Saat itu saya sangat bersyukur. Kehadiran mereka seakan menjadi emotional support tersendiri bagi saya. Di sini, semua orang kebagian kerja. Setiap malam briefing distribusi tugas dan evaluasi dilakukan. Para atlet dibagi tugas ikut menjalin koordinasi atau survey lokasi ekspedisi kelompok mereka masing-masing. Meskipun, pastinya ada saja hal menjengkelkan. Pekerjaan saya bertambah untuk memantau konsumsi tim besar. Ada teman yang melakukan hal kecil seperti piket urus konsum saja tidak becus. Ternyata ini bukan hal remeh. Saking tidak punya uang, saat itu kami hanya bisa makan nasi dan sayur. Seringkali penanggung jawab konsum harian yang orangnya itu-itu saja terlambat, sehingga atlet-atlet ada yang sakit maag!

Tim Kayak Ekspedisi Bumi Cenderawasih, Sungai Prafi 2018.

Menginap di basecamp pramuka milik Pemda ini, pada dasarnya kami seperti anak panti atau pesantren karena adanya peraturan dari ketua pramuka, seperti segregasi jenis kelamin. Laki-laki tidak boleh masuk kamar perempuan (ruang kelas luas yang disulap jadi kamar) dan sebaliknya. Masa-masa itu kami masih suka binge drinking. Pernah suatu ketika, seorang teman perempuan baru kali pertama binge drinking dan langsung jackpot karena menenggak Cap Tikus. Mungkin karena panik karena baru pertama kali, suaranya yang ingin muntah keras sekali! Hati kami dag-dig-dug takut ditegur, atau bila berita ini sampai kepada Pemda, bisa jadi diusirlah kami dari penginapan… Lama-kelamaan, kami mengetahui budaya minum-minum tampaknya lebih umum lagi di Papua.

Ada lagi hal yang tak kalah menggelitik perut. Atas instruksi project officer ekspedisi, kami masak sendiri katering untuk acara pemaparan hasil ekspedisi dan rekomendasi pariwisata di kantor gubernur. Yang benar saja?! Pikirku, tetapi ternyata ia serius. “Kan udah biasa masak di basecamp,” sahutnya asal. Penghuni basecamp hanya sekitar 20 orang, dan hanya masak satu lauk, sementara porsi diskusi umum? Bisa jadi lebih dari 50 dengan banyak variasi lauk pauk. Alhasil, begadang masak sepanjang malam! Meskipun yang begadang sampai pagi hanya seorang teman perempuan pemanjat yang memang dikenal super strong. Saya tak kuat begadang, sementara teman lelaki begitu tak berguna di dapur, mereka semua tidur.

Bermalam di pantai Mansinam, pantai pasir putih di Manokwari yang pemandangannya langsung berhadapan dengan Pegunungan Arfak. Luar biasa indah. Kami tidur di hammock dengan pemandangan pantai, gunung, api unggun. Ketika berenang pagi harinya, gunung menyambut kepala yang lebih dulu menyambut udara di atas…

Perjalanan Jakarta – Papua Barat ditempuh dengan Pesawat Hercules TNI AU.

Saya yakin itu pertama kalinya kami semua menumpang pesawat herki dan melakukan penyeberangan kapal feri. Horizon lautan dan langit berbintang tanpa batas, perjalanan 13 jam sekali menyeberang yang rasanya tiada habisnya. Kami berbaring di dek kapal beratap bintang-bintang hingga pagi hari.

Exploring The Exotic Land

Sudah cukup kenangan konyolnya.

Pertama kalinya menginjak tanah Papua yang menurut saya luar biasa indah, tetapi juga sangat aneh ini sangat berkesan. Eksotis, persisnya.

Penanggung jawab biro paralayang tidak menyangka kenyataan citra peta dari lokasi terbang. Pegunungan Arfak dipilihnya sebagai titik terbang karena semata-mata merupakan titik tertinggi di Papua Barat. Saya yang tidak bisa baca peta juga tidak percaya itu lokasi yang sama dengan yang ada di google image. Saya kira gambar di internet hanyalah hasil kamera handphone yang tak dapat menangkap keindahan Arfak.

Pemandangan kawasan Pegunungan Arfak berupa danau membelah pegunungan seperti ‘fjord’ di Norway…

Pegunungan Arfak luar biasa indah! Benar-benar seperti video-video keindahan alam di Norway. Pegunungan dengan danau raksasa yang membelahnya, dengan air danau memantulkan citra pegunungan di atasnya bak cermin. Danau raksasa yang berada di tengah-tengah pegunungan ini berpasangan, Anggi Gida dan Anggi Giji. Anggi Gida, danau laki-laki yang misterius, memiliki warna lebih gelap keabu-abuan. Sementara itu, Anggi Giji, danau perempuan yang meneduhkan, berwarna jauh lebih terang. Tim paralayang terbang tidak menyeberangi danaunya, tetapi terbang di sisi, bahkan di atasnya, menghadap langsung pemandangan danau dan pegunungan  tersebut.

Terbang di atas Danau Anggi Gida, Pegunungan Arfak.

Saya tidak kecewa meskipun tidak dapat terbang di Pegunungan Arfak. Saat itu kemampuan saya belum mencukupi karena harus menghentikan latihan demi berangkat advance. Rasanya bangga berada dalam tim ini. Saya terharu dapat mengantar tim besar berkegiatan di Papua Barat.

Terbang di atas Danau Anggi Giji, Pegunungan Arfak.

Momen terfavorit saya adalah ketika kepala-kepala desa memperebutkan kampungnya menjadi tempat mendarat paralayang. Mereka menyetop mobil 4WD yang kami tumpangi ketika melintas kampungnya. “Nanti sa kasi noken!” sahutnya bersemangat dengan mata berbinar. Dari bawah, anak-anak, serta warga kampung berlari di jalan tanah, mengejar parasut yang melintas di udara.

Kami juga merasakan rasanya bermalam di rumah tradisional Suku Arfak, Rumah Kaki Seribu (Mod Aki Aksa atau Igkojei). ‘Kaki seribu’ karena pondasi rumah panggung ini terdiri dari tiang-tiang kayu yang menyangganya. Banyaknya tiang tersebut diumpamakan seperti hewan kaki seribu. Uniknya, proses pembuatan lantai dan dinding rumah tradisional yang terbuat dari rotan ini adalah dengan cara dianyam. Mengingat warga Pegunungan Arfak menghangatkan diri dengan membuat api unggun di dalam rumah, tidak heran bila banyak ditemukan anak-anak dengan ingus meler di hidung dan bibirnya. Ketika diperiksa oleh dokter dari bakti sosial yang kami selenggarakan, banyak dari mereka berpenyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan). Mereka tidur dengan asap dari api unggun yang dinyalakan di dalam rumah. Udara Pegunungan Arfak sangat dingin ketika malam hari, dan mereka hanya tidur beralaskan lantai rotan rumahnya.

Nyanyian selamat datang Suku Arfak di depan rumah tradisionalnya, Rumah Kaki Seribu.

Ada juga cerita pengalaman unik dari kelompok biro arung jeram yang mengarungi Sungai Pegaf dari Kabupaten Pegunungan Arfak ke Manokwari. Berbeda dengan air sungau di Pulau Jawa, air sungai di Papua Barat begitu jernih hingga dapat langsung diminum. Aliran sungai Pegaf tersebut berasal dari Pegunungan Arfak. Tidak hanya itu, mereka bertemu burung endemik yang jadi lambang khas provinsi Papua Barat, Burung Kasuari. Mereka melihat burung sebesar burung onta dengan bulu-bulunya yang penuh warna itu sedang minum air di tepi sungai.

Kayak di Sungai Prafi.

Ekspedisi ini berhasil memetakan dan menginventarisasi 17 mulut gua baru, melintasi angkasa Danau Anggi Giji dan Gida juga di Kabupaten Pegunungan Arfak juga memetakan titik-titik terbang dan mendarat yang ideal, serta mengarungi Sungai Prafi sejauh 16 km dari Kabupaten Pegunungan Arfak hingga Manokwari.

Di akhir presentasi dan diskusi pemaparan hasil, kami bersama-sama menyanyikan lagu ‘Aku Papua’…

Telusur Gua (caving) di Distrik Testega, Pegunungan Arfak.

Other Insights

Tak lupa, berikut kesan-kesan lainnya yang saya temui:

  1. Sebagian besar pelaku bisnis dan pejabat tinggi di bidang formal adalah pendatang. Sebagian besar orang Papua hanya berjualan di pasar, dan berjualan pinang di pinggir jalan.
  2. Di Manokwari, hampir semua orang selalu bertelepon! Siapapun itu, dimanapun itu. Bahkan ketika makan di restauran, atau ketika sedang menyetir, mereka semua berbicara denagn handphone-nya.
  3. Lebih baik jangan keluar malam di Manokwari pada malam hari, sepertinya semua orang di jalan mabuk! Saat malam hari, pernah saya menyaksikan seseorang oleng dan tertidur di jalan. Saya menyebutnya drunken city.
  4. Jangan cari gara-gara terlebih isu rasisme, karena mereka mudah terpancing emosi, dan bisa-bisa tinju mendarat di pipi. Saya telah melihat sendiri pemukulan di pasar, di jalan raya, bahkan pernah petugas keamanan meninju pengemudi motor yang sedang melintas.
  5. Dari dua kali saya ke tanah papua, tahun 2018 dan 2019, orang Papua baik hati dan lugu, meskipun gaya bicaranya sedikit keras. Mereka juga doyan nongkrong dan ngobrol. Jangan takut jika kamu dipanggilketika melintas, mereka cuma ingin ngobrol.

Dan masih banyak lagi! Teman saya yang mengunjungi daerah lain yang lebih jauh (Teluk Bintuni), pernah menceritakan banyak hal yang lebih menarik bin aneh lainnya…

Tarian selamat datang Suku Arfak.
Salah satu senjata Suku Arfak, panah.

News:
https://www.kompas.com/tag/ekspedisi-bumi-cenderawasih
https://travel.tempo.co/read/1120626/tim-ekspedisi-mapala-ui-temukan-17-mulut-gua-di-pegunungan-arfak

Selesainya Ekspedisi MAPALA UI di Bumi Cendrawasih

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/03/05/petualangan-mapala-ui-menjelajah-bumi-cenderawasih

https://travel.tempo.co/read/1120626/tim-ekspedisi-mapala-ui-temukan-17-mulut-gua-di-pegunungan-arfak

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2018/09/19/menyelam-ke-dunia-pecinta-alam-cerita-ekspedisi-bumi-cendrawasih-2018

Videos: